Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEBUAH DAERAH, SEBUAH KEPEMIMPINAN KREATIF

Kita hidup di tengah sebuah dunia yang menghadirkan paradoks. Satu sisi, globalisasi dengan ideologi kapitalisme membawa konsekuensi penyeragaman dalam semua aspek kehidupan, terutama ekonomi. Kita tak hanya berada tinggal di bawah langit biru dan matahari yang sama. Umat manusia juga tinggal dan terhubung di bawah satelit yang sama, menonton kanal televisi yang sama, dan bahkan produk makanan kita pun coba diseragamkan dengan penetrasi jaringan industri makanan global.

 

Namun sisi lain, di semua kawasan dan daerah ada keinginan untuk menampilkan identitas, sebuah kekhasan, bukan ideologi, tapi lebih mengarah kepada sentimental dan primordialisme. Sebuah semangat untuk menampilkan bahwa ‘kami’ berbeda dengan ‘mereka’. Ada kalanya ‘kita’ menjadi tidak cukup, karena pada akhirnya ‘kita’ terdiri atas banyak hal yang lebih partikular.

 

Di Eropa, secara ekonomi, Uni Eropa menjadi kesepakatan bersama. Namun di masing-masing negara mulai muncul kembali gerakan yang berorientasi nasionalisme, bahkan kewilayahan sebagaimana Katalan dan Basque di Spanyol. Sebagian berwajah ultranasionalis yang cenderung "keras". Sebagian berwajah lebih lunak.

 

Mungkin inilah yang disebut penulis Thomas Friedman sebagai "fenomena Lexus dan pohon zaitun". Lexus adalah merek sebuah mobil mewah, simbol kemajuan, industrialisasi, dan efisiensi perekonomian dalam sistem global yang terintegrasi. Sedangkan pohon zaitun merepresentasikan kehangatan keluarga, komunitas, suku, bangsa, agama, dan tanah air. Pohon mengidentifikasi eksistensi diri. “Anda dapat menjadi orang kaya sendirian, pintar sendirian, tapi Anda tak dapat menjadi orang yang komplit seutuhnya, karena untuk itu Anda harus menjadi bagian dan berakar di dalam hutan pohon zaitun,” kata Friedman.

 

Indonesia tak bisa membendung globalisasi dan penyeragaman itu. Namun sejak Reformasi 1998, tak ada yang bisa menahan semangat masyarakat lokal di berbagai penjuru Indonesia yang ingin menonjolkan identitas masing-masing yang selama ini diringkus Orde Baru. Otonomi daerah mendadak menjadi mantera canggih yang diucapkan hampir semua orang. Pembangunan pun harus berbasis otonomi daerah dan tak lagi harus terpusat, kecuali beberapa urusan seperti sistem moneter dan hubungan luar negeri.

Tak ada lagi pemimpin daerah yang ditunjuk pusat. Kini rakyat di daerah bisa memilih tokoh-tokoh lokal dan membangun pemerintahan lokal demi kepentingan partikular mereka. Ada semangat untuk kembali ke identitas yang lebih kecil.

 

Satu sisi banyak yang menilai otonomi daerah menciptakan raja-raja kecil yang melakukan korupsi. Otonomi daerah dianggap kebablasan, karena menciptakan munculnya ego kedaerahan yang kadang bisa menghambat program pembangunan nasional. Dalam bentuk paling ekstrim, otonomi daerah berpotensi memicu gengsi kedaerahan yang bisa berakibat disintegrasi.

 

Namun memandang otonomi daerah dalam sisi negatif saja tentu bukanlah hal adil. Lebih adil kiranya kita melihat otonomi daerah tak ubahnya sebuah gelas berisi separuh air. Orang yang pesimistis menilai gelas itu separuh kosong. Sementara mereka yang senantiasa berpikir positif akan melihat gelas itu separuh terisi, dan berarti ada peluang untuk mengisi gelas itu penuh air.

 

Dalam berbagai forum saya sering mengatakan bahwa otonomi daerah adalah "cek kosong" bagi insan-insan daerah. Apa yang tertera di "cek kosong" itu tergantung komitmen dan tindakan kita. Di sana bisa tertulis hal-hal baik untuk masyarakat, tapi juga bisa tertulis hal-hal yang kurang baik.

 

Otonomi daerah membuka peluang besar bagi pemerintah lokal untuk menciptakan kreativitas dan kemandirian dalam menyejahterakan sosial-ekonomi masyarakat. Di Kabupaten Banyuwangi, misalnya, pemerintah dan masyarakat bersinergi membuat serangkaian kebijakan berbasis potensi lokal untuk menggerakkan perekonomian. Mulai dari seni-budaya, pariwisata, pertanian, pendidikan, kesehatan, kependudukan, hingga infrastruktur digerakkan dengan merangsang kreativitas warga. Bandara dibangun, jalan dibangun, seni-budaya difestivalkan, destinasi wisata ditata, program beasiswa diluncurkan, fasilitas kesehatan ditambah, dan layanan kependudukan dipermudah.

 

Hasilnya cukup terasa, meski kami akui masih ada segudang kekurangan. Pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi meningkat 70 persen sejak 2010. Pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi telah melampaui beberapa kabupaten/kota lain di Jawa Timur (Jatim) yang sebelumnya selalu di atas Kabupaten Banyuwangi.

Tentu saja menangkap peluang di era otonomi daerah membutuhkan kerja keras. Faktor terpenting adalah kepemimpinan yang kuat. Aspek leadership sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Leadership ini bukan sekadar memimpin, tapi juga harus bisa menumbuhkan inisiatif warga. Inisiatif warga penting agar mereka bisa ikut menyelesaikan persoalan-persoalan di sekitar mereka.

 

Inisiatif warga menjadi pilar utama yang menempatkan daerah sebagai narasi kecil yang menggantikan negara. Negara tetap ada, namun globalisasi membuat persoalan-persoalan yang sebelumnya dihadapi dan ditangani negara menjadi langsung dihadapi oleh warga. Persoalan lingkungan, ekonomi, sosial, dan bahkan keamanan menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Oleh sebab itu, pemimpin daerah atau pemimpin kabupaten/kota memiliki peran penting untuk menumbuhkan inisiatif warga.

 

Apa syarat pemimpin daerah untuk menumbuhkan inisiatif warga? Menurut saya, seorang pemimpin tak boleh sok tahu dalam menangkap keinginan masyarakat. Kepemimpinan yang menumbuhkan inisiatif dan kreatif juga tak boleh takut mencoba. Jangan pernah berada di zona nyaman. Dalam setiap kesempatan, saya sering berkata, perubahan belum tentu menghasilkan perubahan, tapi perubahan tak akan datang tanpa kemajuan. Di situlah pentingnya kepemimpinan kreatif untuk membangun daerah: berani berubah untuk kebaikan bersama.

 

Penulis: Abdullah Azwar Anas, M.Si. (Bupati Kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur)

 

Post a Comment for "SEBUAH DAERAH, SEBUAH KEPEMIMPINAN KREATIF"